About

Thursday, November 3, 2016

Cerpen Sedih

                    "Gita Ferentika"

                            by: Rizka Dewi


         Aku tersenyum puas saat melihat post-an di blog ku sudah selesai. Blog milikku yang sudah memiliki banyak viewers. Kenangan-kenangan indah sampai pahit kembali terngiang di kepalaku. Tulisan yang barusan aku post di blog itu mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun silam, dimana kedua orangtuaku pisah. Saat itu harapanku hancur, pupus, aku sudah tidak mempunyai pegangan lagi, tidak ada lagi tempatku bersandar, tempat berbagi cerita, padahal mereka lah motivasiku untuk selalu mewujudkan cita-citaku. Pecahan-pecahan kaca atau dentuman benda-benda semacamnya serta isak tangis kerap kudengar.
Kenapa harus aku yang mengalami? Kenapa aku tidak bisa menikmati masa kecil yang senantiasa bahagia layaknya anak-anak lain seusiaku ini? Dapatkah aku menukarnya?
        Akhirnya kupejamkan mataku, kutarik nafasku dalam-dalam berusaha menghapus kenangan itu. Hidupku sekarang sudah cukup nyaman, mempunyai banyak teman dan dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangiku. Dan aku bertemu dengan-nya, sosok pria yang baik dan membuatku jatuh hati padanya. Namun, takdir berkata lain. Aku berpisah dengan-nya  karena takdir yang membawanya pergi, dan aku tidak bisa mengelaknya.
                                        ∞∞∞∞
         Matahari pagi begitu indah, memancarkan sinarnya yang cukup hangat. Burung-burung berkicau mengiringi setiap langkah kaki siapa saja yang dilihatnya. Mentari pagi ini menjadi harapanku agar aku selalu dalam kebahagiaan. Setiap hari, kebiasaan ku setelah bangun tidur, hal pertama yang aku lihat adalah indahnya cahaya pagi yang selalu terselip di tiap-tiap bagian tirai jendela kamarku, dan selalu mengucap harapan-harapanku.
         Pagi ini seperti biasa seperti layaknya murid-murid lainnya yang ingin menuntut hak dan melaksanakan kewajiban demi cita-citanya masing-masing. Beberapa langkah kutelusuri lorong-lorong koridor yang masih sepi, mungkin hanya beberapa murid saja yang terbiasa berangkat pagi sepertiku.
       “Gita?” aku menoleh kebelakang saat tiba-tiba ada yang memanggilku, ternyata Mia teman sebangku ku.
       “ya?” jawabku sekenanya.
       “Udah sarapan belum? Kantin yuk, belum sarapan nih belum masuk tuh” lontar Mia cepat,
       “Boleh deh, eh tapi tumben dateng pagi ini, kenapa? Salah pasang alarm?” tanyaku sambil berjalan menuju kantin.
       “Hehehe”
        Yap! dia Mia Mahatei a.k.a Mia, teman sebangku ku. Orangnya memang begitu sih, supel tapi lumayan pintar. Paling susah berangkat pagi, sekalinya pagi malah kepagian katanya sih salah pasang alarm. Setelah itu mereka pun masuk kekelas karena bel masuk sudah berbunyi.
        Aku penulis blog (blogger) yang isinya semua sastra, mulai cerpen sampai puisi. Tapi nggak ada satu orangpun yang tau. Aku kurang percaya diri, aku malu menunjukkan siapa aku. Tapi aku bukan Nerd dan juga Insecure, aku normal seperti gadis lainnya.
                                   ∞∞∞∞
         Bel istirahat pun berbunyi, murid-murid berhamburan keluar kelas, ada yang ke kantin untuk mengisi perutnya atau ada yang hanya mengobrol saja. Tapi lain halnya denganku, aku ke kantin bukan untuk sekedar makan atau mengobrol biasa. Tapi setiap hari yang aku lakukan bersama teman-temanku termasuk Mia adalah mem-bully anak-anak yang terlihat cupu atau anak-anak baru. Ini bukan sisi yang baik dariku, aku seperti ini bukan tanpa alasan. Yap! Kejadian beberapa tahun lalu lah yang menyebabkan aku seperti ini. Itu pasti, aku depresi dan stress. Awalnya aku seperti  freak tapi aku berubah karena itu bentengku, siapapun tidak ada yang berani macam-macam denganku.
      “Git, anak baru tuh huuuuu.” ucap Mia. “Iya git arah jam duabelas, ada anak baru cewe cantik.” tambah Kayla.
          Kutolehkan kepalaku ke arah jam duabelas. Tepat! terlihat anak baru cupu yang kebingungan karena kantin ini sudah lumayan penuh. Kupanggil anak itu yang kutau namanya Anes, aku yakin dia anak baik yang pastinya polos dan nggak tau apa-apa. Tapi tiba-tiba ada cowo yang sok jadi pahlawan, yang kutau namanya Vero Varianz, a.k.a Varo. Aku pernah lihat dia sebelumnya, tapi dimana? Ah! Aku ingat. Iya, dia ketua tim basket sekolah yang digemari banyak siswi cewe. Yah, kayak saat ini nih, harusnya kan mereka bantu aku, ngejauhin ini cowo. Dan kayaknya fans-berat banget. Apa namanya? Verolicious atau Vero Lovers?  biar kayak public figure.
       “Mia, kania, lo berdua tuh apaan sih! Nggak liat gue lagi emosi gini.”  bentak-ku pada mereka. Yang malah dibales mereka cengiran biasa ditambah dua jarinya berbentuk V dengan istilah kata Piss.
       Disaat aku sedang mengocehi Mia dan Kania, tiba-tiba si cowok supe-hero ini bicara dengan nada sedikit membentak.
       “Ini anak orang, lo mikir ngga sih ini termasuk kasus pembullyan dan gak pantes anak seusia lo sok berkuasa di sekolah ini, lo cewe.” skak varo
       “Ini urusan gue, lo ngga usah sok ikut campur, lo bukan orangtua gue.”bentak-ku pada Vero. “Gue cuman mau bilang ini doang sih, tapi yang pasti kalo lo ngga bebasin anak ini bakal gue aduin Kepsek. Lo cewe, masa depan lo masih panjang. Lo pernah mikir ngga seandainya lo yang ada diposisi ini.” ucap vero.
        Sedangkan Anes hanya tertunduk termanggu dengan air mata yang bercucuran dengan deras, Aku hanya diam oleh kata-kata Vero dan perlahan-lahan sosok itu pergi dari hadapan ku. Kata- kata Vero tadi sayangnya ngga aku dengar sama sekali, karena menurutku itu basi.
         “Udah ah yuk.” aku,Mia dan Kania memutuskan untuk pergi dari kantin. Bersamaan dengan itu pula bel pulang berbunyi.
      Seperti biasa, rumah selalu sepi, setiap hari. Aku bosan, Aku penat, Aku ingin pergi! Tapi saat kakiku menginjak anak tangga pertama ingin bergegas ke kamar, suara isak tangis yang kurasa itu Mama dari dalam kamarnya. Lalu dengan bergegas kulangkahkan kakiku ke kamar Mama.
       Dan ternyata benar, dari sudut ruangan dekat tirai terlihat seorang wanita paruh baya duduk berselonjor dengan tangan yang memeluk erat sebuah foto yang kutau itu foto keluarga kami. Marah dan kesal bercampur sedih menjadi satu. Kudekati Mama, lalu  kupeluk dia erat-erat.
          “Tadi papa kamu kesini git, dia bilang mau ngajak kita pindah kerumah barunya, tapi saat mama tau ternyata disana juga ada istri barunya, mama baru kamu git, kamu mau?.” Ucap mama sambil terisak.
       “Nggak ma, gita udah nyaman disini, berdua sama mama, rumah kita nggak kalah besar dan mewahnya kok ma dengan rumah papa, kita punya bibi yang ngurusin rumah dan makan, kita punya pak Ujang yang bantu bersihin taman dan nganter gita ke sekolah, gita udah nggak butuh sosok papa lagi ma.” Jelas aku di pelukan mama.
       “Kamu nggak boleh benci papa seperti itu git, papa kamu nggak salah, ini takdir git yang udan garisin kita kaya gini.”
       “Udah deh ma, nggak usah bela papa lagi, mama udah disakitin dan gita ngga terima itu” Ucap ku sambil terus memeluk mama. Dan tanpa kusadari mama sudah tidur sedari tadi, dalam dekapanku.
        Malam ini, di balkon kamarku. Aku kembali memposting sesuatu di blog mengenai kejadian hari ini.  
    
Bahwa takdir itu memang sudah ada garisnya dan kita sebagai manusia hanya bisa mengikuti alur dan mengubahnya semampu kita.

       Kututup laptop ku, dan ku tengadahkan kepalaku menghadap langit malam yang luas ditambah banyaknya hamparan bintang-bintang yang selalu setia membantu menerangi malam bersamaaan dengan bulan yang sangat indah, dengan angin malam yang sejuk membuat siapapun terlena oleh buaiannya.
       Rasanya hati ini lega seperti tidak pernah ada masalah apapun yang telah terjadi kemarin dan hari ini.
       Hidup ini rumit jika kita membuatnya menjadi rumit tapi hidup ini akan indah jika kita membuatnya selalu istimewa di setiap detiknya. Sekarang hanya ada Aku dan Mama, tidak ada Papa atau siapapun yang dapat merusak kebahagiaan ku. Seperti biasa, pagi ini aku harus kembali kesekolah untuk menuntaskan apa yang ingin aku tuntaskan dan mengejar mimpi-mimpi ku.“Ma, gita berangkat, Assalamu’alaikum” kucium telapak tangannya sebagai tanda hormatku kepadanya.
       “Wa’alaikum salam hati-hati”.
       Aku berjalan melalui koridor dengan banyak murid yang berlalu-lalang hingga sampailah aku di depan kelasku. Pelajaran hari ini adalah Sastra. Jujur, aku suka sastra.
       Aku suka semua genre sastra, Puisi, Pantun, Cerpen dan lainnya.
       Aku suka cerpen dan sajak-sajaknya Chairil Anwar dan Kahlil Gibran.

       Aku juga  suka dengan novel karyanya Asma Nadia dan Habiburrahman El-Shirazy yang selalu terdapat petuah-petuah islamiah didalamnya.
       Dan terakhir aku suka Dilannya Ayah Pidi Baiq.
       Aku memang terkenal Bad Girl tapi itu bukan aku sebenarnya, karena ketahuilah! Perbuatan tidak menjamin baik buruknya seseorang tersebut, dan itu adalah Aku.
           Bel istirahat pun berbunyi, seperti biasanya setiap hari kantin selalu penuh. Dan ini kebiasaan aku untuk mengusir siapapun yang berani duduk di meja ku dan teman-temanku. Terlihat Anes sudah kembali ceria setelah kemarin kubuat nya menangis. Ia terlihat tunduk dan takut ketika melihat ke arahku.
      “Git, anes tuh git, kerjain lagi yuk” ucap Mia.“Eh, tapi kerjain apaan yaa?.” Tambah Mia. “Iya juga ya? Kerjain apaan?.” Tambah lagi oleh Kania.
       “Gue kerjain di makanan yang dia pesen ya, gue pedesin aja gimana ya?.” ucap Kania.
     “Boleh tuh boleh, hahaha.” Mia tertawa lepas.
       Mulailah Kania dengan segala trik nya mengerjai Anes. Lalu tiba-tiba terdengar jeritan dari Anes yang kepedasan. Aku, Mia dan Kania hanya tertawa terbahak-bahak. Namun tiba-tiba seperti ada yang menggebrak meja kami, dan rupanya itu Vero. Dia lagi dan lagi. Tapi kali ini aku harus berani maju.
     “Lo ngga cukup apa kemaren buat dia nangis dan malu didepan teman-teman satu sekolah.” Ucap Vero.
      “Lo tuh kenapa sih selalu ikut campur aja urusan orang, lo ngga punya temen atau lo mau ikut gabung berteman bareng sama gue?.” ucap aku sesekali melirik Mia dan Kania.
       “Eh git, udah deh lo ngga usah sok berkuasa terus disekolah ini, lo itu kaya cewe yang ngga punya harga diri dan ngga tau malu.” ucap salah satu teman Vero yang kutau namanya Angga.
      “Lo juga kenapa ikutan sih, cowo mulut banci gitu hahaha.”ucap gue sambil tertawa. “Iya, banci, culun huu hahahaha.” Tambah Kania.
      “Eh git, lo tuh mikir ya. Dasar lo anak Broken Home-yang ditinggal Bokap karena selingkuh dan sekarang Nyokap lo gila kan ngga waras, haha dan ini pengumuman buat lo semua termasuk Mia sama Kania, kalian  ngga ada yang tau kan? Ya karena gita malu!.” skak Angga.
        JLEBB!! Bagai disambar petir. Kata-kata itu secara langsung menusuk hati ku yang paling dalam. Memang nggak ada yang tau. Dan kebetulan Orang tua Angga pernah satu perusahaan sama Papa yang otomatis tau semua soal berita keluargaku, tentang Mama dan Papa.
        Kulangkahkan dengan cepat kakiku ke arah kamar mandi. Aku lari sekencangnya. Kutumpahkan semuanya, kuluapkan semuanya tangisanku disana, kukunci dan nggak ada yang tau.
      Apa mungkin ini Karma?? Apa mungkin ini hukuman??  Batin-ku. “Git, lo nggak apa-apa?.” kudengar itu suara Vero, langsung buru-buru keseka air mataku dan bergegas keluar, tenyata  benar itu Vero.  
        Setelah itu aku diajak Vero ke rooftop sekolah yang katanya bisa ngelepasin semua beban yang ada di hati. Satu fakta yang aku tau dari Vero ternyata Vero juga nggak punya Papa (meninggal) dan katanya disini dia suka meluapkan semua emosinya. Dan terakhir, Vero baik. Saat semuanya pergi jauh dari ku, dia setia tetap bersamaku, menemaniku. Mulailah dari situ aku cerita semuanya ke dia dan aku juga memberitahu dia kalau aku penulis blog dan ngga ada yang tau.
        Sejak saat itu aku mulai dekat dengan Vero. Saat Mia dan Kania yang kuanggap sahabat terbaikku bahkan sebagai keluarga sendiri, ternyata malah pergi menjauhiku ketika aku bukan siapa-siapa lagi. Dan sekarang namaku yang sudah tercoreng di sekolah. Ternyata faktanya mereka hanya ingin terkenal dan popular.
        Aku mulai menulis lagi di blog setelah lumayan lama aku tidak aktif.


“Cinta?
Apa itu cinta?
Apa definisi Cinta yang sesungguhnya? Bukan dari novel teenlit yang sering kubaca
Menurutku cinta itu sesuatu perasaan yang menjalar ke hati seperti petir
Perasaan yang seperti angin, tidak dapat dipegang tetapi cukup dirasa
Tidak permanen dan kadang kala dapat hilang.
Lalu, bagaimana menurutmu?”
∞∞∞∞
        Post-an ku yang entah keberapa itu sebenarnya menggambarkan bagaimana perasaanku. Ya, entah dari mana datangnya--Entah dari mana asalnya perasaan ini tumbuh.
       Yang jelas saat ini aku merasa, aku mencintainya seutuhnya, sebagaimana gadis remaja seusiaku.
       Ya, bersamanya kurasa nyaman. Bersama Vero aku merasa tenang. Namun, kisah ku ini tidak bertahan lama, karena suatu kejadian yang memisahkan aku dengan dia.
        Saat itu hujan deras, dan motor yang kutumpangi bersamanya licin sehingga jatuh terjembab kedalam kubangan yang cukup besar. Saat itu memang terdapat sebuah bus yang melaju kencang dan karena hujan jadi tidak terlihat cukup jelas. Padahal saat itu diatas motor, kami sedang tertawa bersama melepas kebahagiaan kami--karena baru saja hari itu Vero menyatakan cintanya kepada ku. Kepalaku terkena batu yang cukup besar lalu aku di bawa ke Rumah Sakit terdekat. Tetapi ternyata benturan itu menyebabkan mata sebelah kiri ku rusak dan akhirnya tidak seimbang. Sehingga aku membutuhkan seorang pahlawan yang mau mendonorkan matanya untukku.
        Aku masih ingin menulis.
        Aku masih ingin melihat Vero dan Mama bahagia.
        Sampai akhirnya tiba saatnya aku operasi mata karena dokter sudah menemukan pendonor yang tepat untukku. Hati ku teramat sangat gembira. Tetapi saat semuanya selesai dan lancar, ternyata salah. Aku salah! Aku merasa ada separuh yang hilang dari diriku-entah, aku tidak tahu itu apa.
       Vero kemana? Apa sejak aku operasi dia ngga ada? Atau mungkin dia pergi meninggalkanku setelah tau kalau aku buta? Batin-ku
       “Selamat ya sayang, mama senang kamu bisa melihat lagi.” peluk mama kepada ku. “Mama kangen banget sama kamu.” tambah mama.
      “Iya ma, gita juga senang bisa ngeliat lagi.”
       “Selamat ya gita, tante senang bisa ketemu kamu lagi.” ucap mama Vero seraya mendekapku.
       “Iya tante, makasih.” Ucapku seraya memeluk-nya. “ Oh ya, vero ngga ada ya? Sibuk ya?” tambah-ku pada mama Vero.
        “Tante, kenapa kok diem? Gita salah ngomong ya tan?.” tanyaku lagi pada mama Vero.
        Entah apa yang ada difikiranku, fikiran buruk tentang Varo, namun ku usir fikiran itu, karena aku yakin semuanya baik-baik saja. Tetapi setelah aku melihat keraguan dari balik mata mama Vero, fikiran itu datang lagi, dan aku rasa ini s.e.r.i.u.s dan bukan main-main.
       “Vero…. Udah ngga ada sayang, vero sudah bersatu sama kamu. Saat kamu membuka mata , kamu bisa melihat dan merasakan Vero.” ucap mama Vero terharu.
        “Jangan bilang kalau Vero yang ngedonorin matanya buat aku? Ma? Tan? Jawab!”
        “Iya sayang, dia nggak tega ngeliat kamu kehilangan semangat kamu lagi, dia sayang sama kamu” jawab mama.
                                      ∞∞∞∞
        Aku hanya bisa menangis dan meratapi semuanya. Aku kehilangan laki-laki yang aku sayang untuk kedua kalinya. Pertama papa yang tega ninggalin aku sama mama sendirian. Dan sekarang aku kehilangan Vero, cinta pertamaku, dia yang mengajarkan aku betapa berharganya hidup ini, bagaimana menjadi orang baik dan bagaimana caranya mencintai dan arti cinta itu sendiri.
        “Hidup itu berharga git, jangan pernah kamu sia-siain hidup itu dengan semena-mena. Karena kita nggak punya banyak waktu.”
        “Aku yakin papa kamu itu baik, nggak jahat. Nggak ada orangtua manapun yang mau nyakitin atau ngecewain anaknya. Percayalah!.” 
        “Kalau menurut aku cinta itu indah. Iya, perasaan yang indah dan membuat siapapun berbunga-bunga saat merasakannya. Dan sekarang aku ngerasain itu sama kamu. Aku cinta kamu saat ini, nggak tau besok. Mungkin iya. Tapi intinya aku cinta kamu! Hahaha.”
                                        ∞∞∞∞                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
          Kulihat mamaku dan mama Vero pun ikut menangis. Dan sekarang disini, di depan makam Vero aku berdiri, aku hanya  bisa menangis dan bilang kalau semua ini nggak mungkin, semua ini mimpi, tapi apalah daya tak sampai.
Aku akan ingat semua apa yang pernah kita lewatin. Karena hidup itu waktu yang sangat berharga.

Tunggu cerpen-cerpen yang selanjutnya yaaaaa.... :D

0 komentar:

Post a Comment